3.8.09

KONSEP MASLAHAT AL-MURSALAH MENURUT MÂLIK BIN ANAS


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum Islam secara praktis ialah ketetapan shari’at Islam yang dirumuskan dari nass (al-Qur’ân dan al-Sunnah) yang harus diimani dan diamalkan oleh setiap orang Islam. Meskipun rumusan ketetapan itu seperti yang kita lihat sekarang belum ada pada zaman Nabi Muhammad SAW., namun isi dan caranya sudah diamalkan pada masa itu; yaitu dalam masa pertumbuhan. Orang sudah disuruh beriman dan dilarang shirik, meskipun hukum wajib beriman dan haram shirik belum dirumuskan pada waktu itu. Pada masa Nabi SAW. orang sudah disuruh berbuat baik kepada ibu dan bapaknya dan dilarang durhaka kepada mereka, meskipun rumusan hukumnya belum dibuat ketika masa itu.

Hukum Islam tumbuh di zaman Nabi Muhammad SAW.; sebagian besar disesuaikan kebutuhan orang yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Karena banyak ayat al-Qur’ân yang bersifat umum, global, dan implisit, maka tugas Nabi SAW., melalui Sunnahnya adalah menerangkan makna tersurat dan makna tersirat, menjelaskan hukum-hukum secara rinci dan memberikan contoh penerapannya.

Akan tetapi, kandungan al-Qur’ân dan al-Sunnah terbatas jumlahnya, sementara kondisi sosial senantiasa berubah dan berkembang. Untuk itu para ‘ulama mencoba berupaya untuk menjawab segala permasalahan yang muncul itu dengan ijtihâd.
”Secara umum dan simpel, ijtihâd dapat dikatakan sebagai upaya berfikir secara optimal dan sungguh-sungguh dalam menggali hukum Islam dari sumbernya, untuk memperoleh jawaban persoalan yang timbul dalam masyarakat”.
Ijtihâd dalam pengertian demikian, adalah upaya untuk mengantisipasi tantangan-tantangan baru yang senantiasa muncul sebagai akibat sifat evolusioner kehidupan (problematika sosial). Di sini peran manusia sebagai khalîfatullâh fil ‘ard dituntut untuk senantiasa berfikir, untuk terus menggali nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’ân dan al-Sunnah. Perkembangan serta kemajuan teknologi telah berhasil mengubah situasi dan kondisi kehidupan pemakainya, sehingga cara hidup dan tatanilai lama sudah banyak yang tergeser; sekaligus telah ikut pula mempengaruhi pengamalan agama.

Sekalipun demikian antara upaya di satu pihak dan tuntutan perubahan sosial di pihak lain, terdapat suatu interaksi yang kuat. Persoalan ijtihâd, secara langsung maupun tidak, hal ini tidak akan terlepas dari perubahan sosial. Sedangkan perubahan sosial tersebut, harus ada suatu peraturan dan orientasi yang jelas (maslahah) . Sehingga dapat memenuhi hajat hidup dan kehidupan bagi kemaslahatan manusia.
“Dalam kondisi seperti demikian, menurut sosiologi hukum, hukum memerankan dua peran penting. Pertama, hukum dapat dijadikan sebagai alat untuk mengubah masyarakat (social engineering). Kedua, hukum dapat dijadikan sebagai alat pengatur perilaku sosial (social control)”.

Ketika Rasûlullâh SAW. masih hidup, segala persoalan yang muncul di masyarakat beliau jawab sendiri; baik dengan alasan wahyu maupun sunnahnya sendiri. Dengan demikian cukuplah al-Qur’ân dan al-Sunnah sebagai pedoman umat baik secara individu maupun kolektif dalam kehidupan keseharian mereka. Akan tetapi bagi masyarakat yang jauh dari Rasûlullâh SAW. tentu hal itu akan menjadi hal yang sangat sulit. Untuk itu Rasûlullâh saw. memberi peluang kepada para sahabat Rasûlullâh SAW. untuk menetapkan hukum sendiri dengan berijtihâd untuk menjawab persoalan yang muncul dalam masyarakat. Hal ini tercermin dalam sebuah hadîth yang diriwayatkan oleh Mu’âdh bin Jabal r.a., ketika diutus Rasûlullâh SAW menjadi qâdi di Yaman:

“Rasûlullâh bertanya (kepada Mu’âdh), Bagaimanakah engkau mengambil tindakan hukum yang dihadapkan kepadamu, hai Mu’âdh? Ia menjawab, “Aku akan menetapkan hukum (atas dasar) Kitab Allâh.” Nabi saw. bertanya (lagi), “(Bagaimana) jika engkau tidak temui dalam Kitab Allâh?” Ia menjawab, “(Akan kutetapkan atas dasar) Sunnah Rasûlullâh saw.” Nabi saw. bertanya (lagi), “(Bagaimana) jika tidak engkau temui dalam Sunnah Rasûlullâh SAW.?” Ia menjawab, “Aku akan berijtihâd dengan ra’yu (pikiran)-ku dan aku akan berusaha keras.” Maka Rasûlullâh saw. menepuk-nepuk dadanya (Mu’âdh). Dan beliau bersabda, “Segala puji bagi Allâh yang telah memberi taufîq kepada utusan Rasûlullâh sesuai dengan yang diridai Allâh dan Rasûl-Nya.”

Pembicaraan tentang tujuan pembinaan hukum Islam (maqâsid al-tashrî’) merupakan pembahasan penting yang tidak luput dari perhatian ‘ulama serta para pakar hukum Islam. Sebagian ‘ulama menempatkannya dalam bahasan usûl al-fiqh, dan ‘ulama lain membahasnya sebagai bahasan tersendiri serta diperluas dalam Filsafat Hukum Islam. Hal ini dimaksudkan, agar tidak mengurangi kedudukannya dalam bahasan Filsafat Hukum Islam. Namun tetap menjadikannya sebagai bagian dari bahasan usûl al-fiqh, di sini akan diuraikan bahasan mengenai pembinaan hukum Islam secara sederhana dan bersifat umum.

Bila diteliti semua suruhan dan larangan Allâh swt. dalam al-Qur’ân, begitu pula suruhan dan larangan Nabi Muhammad SAW. dalam al-Sunnah yang terumuskan dalam fiqh, akan tetapi bahwa semua mempunyai tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai hikmah yang mendalam, yaitu sebagai rahmat bagi manusia, sebagaimana ditegaskan dalam beberapa ayat al-Qur’ân, di antaranya dalam surat al-Anbiyâ’ (21): 107, tentang tujuan Nabi Muhammad SAW., diutus:

Selengkapnya...

0 komentar:

Posting Komentar

PERPUS. SKRIPSI TESIS is wearing Nur | To Blogger by An at Student | Campus and Comments (RSS).