3.8.09

STUDI KOMPARATIF TENTANG PENYELESAIAN PEMBAGIAN SISA (ASABAH) HARTA WARIS MENURUT GOLONGAN SUNNI DENGAN GOLONGAN JAKKARI


PENDAHULUAN

A. KONTEKS PENELITIAN

Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan mati. Semua tahap itu membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya, terutama dengan orang yang dekat, baik dekat dalam arti nasab maupun dalam arti lingkungan.
Seperti halnya kelahiran dan kehidupan yang membawa akibat timbal baliknya hak dan kewajiban bagi dirinya dan orang lain, demikian halnya dengan kematian yang juga membawa pengaruh dan akibat hukum kepada diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Bila dalam hidupnya sejak proses bayi, anak-anak, tamyis, usia baligh dan usia selanjutnya manusia bertindak sebagai penanggung hak dan kewajiban baik selaku pribadi, anggota keluarga, warga negara dan pemeluk agama yang harus tunduk, taat dan patuh kepada ketentuan syariat dalam seluruh totalitas kehidupannya. Dengan kematian timbul pula akibat hukum lain secara otomatis, yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang menyangkut para keluarga (ahli waris) terhadap seluruh harta peninggalannya. Bahkan masyarakat dan negara (baitul mal) pun, dalam keadaan tertentu mempunyai hak atas peninggalan itu.
Manusia yang telah mati akan meniggalkan semua perbuatan hukumnya. Kematian juga meninggalkan atau mengakibatkan kewajiban. Kewajiban baru bagi ahli waris yang ditinggalkannya, kewajiban itu antara lain: kewajiban untuk mengurus jenazah, melunasi hutang semasa hidupnya dan memenuhi wasiatnya. Jika semua kewajiban-kewajiban itu terpenuhi maka akan timbul suatu kewajiban baru yaitu membagikan harta waris (peninggalan) simati kepada ahli waris yang berhak mendapat harta peninggalan.
Harta warisan adalah harta pemilikan yang timbul sebagai akibat dari suatu kematian. Harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal memerlukan pengaturan tentang; siapa yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya dan bagaimana cara mendapatkannya.

Mempusakai itu berfungsi menggantikan kedudukan simati dalam memiliki dan memanfaatkan harta miliknya. Adalah bijak sama sekali kiranya kalau penggantian itu dipercayakan kepada orang-orang yang banyak memberikan bantuan, pertolongan, pelayanan, pertimbangan dalam mengemudikan bahtera hidup berumah tangga dan mencurahkan tenaga dan harta demi pendidikan putra-putranya, seperti hubungan suami isteri atau dipercayakan kepada orang-orang yang telah menumpahkan kasih sayang, menafkahi mendidik, merawat dan mendewasakannya, seperti orang tua atau leluhurnya atau dipercayakan kepada orang-orang yang telah mengorbankan sebagian hartanya untuk membebaskan perbudakan atau dipercayakan kepada umat Islam.
Aturan tentang warisan ditetapkan Allah melalui firman-Nya yang terdapat dalam Al-Qur’an. Pada dasarnya ketentuan Allah berkenaan dengan kewarisan jelas maksud dan arahnya. Berbagai hal yang masih memerlukan penjelasan, baik yang bersifat menegaskan ataupun yang bersiat merinci, disampaikan Rasulullah SAW melalui haditsnya. Walaupun demikian, penerapannya masih menimbulkan wacana pemikiran dan pembahasan dikalangan para pakar Hukum Islam yang kemudian dirumuskan dalam bentuk ajaran yang bersifat normatif. Aturan tersebut yang kemudian dituliskan dan diabadikan dalam lembaran kitab fikih serta menjadi pedoman bagi umat Islam dalam menyeleseikan permasalahan yang berkenaan tentang warisan.
Dalam pembagian harta peninggalan inilah yang biasanya menimbulkan percekcokan dalam keluarga dan bahkan bisa menjadi pertengkaran antara sesama saudara. Memang sudah menjadi fitrah bagi manusia untuk menyenangi harta benda, apalagi harta benda itu diperoleh dengan cara pengalihan kepemilikan tanpa adanya suatu imbalan. Hal ini memang sudah tergariskan oleh firman Allah SWT dalam QS: Ali Imran;14
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang di ingini yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas , perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Inilah kesenangan hidup didunia dan disisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga)”.
Hukum kewarisan Islam mengatur peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup. Aturan tentang peralihan harta ini disebutkan dengan berbagai nama. Dalam literatur Hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan hukum kewarisan Islam seperti: faraid, fikih mawaris dan hukum al waris. Kata yang lazim dipakai adalah faraid seperti dalam kitab minhaj al thalibin karangan An-Nawawi. Menurut Al-Mahally dalam komentarnya atas matan minhaj menyebutkan alasan pengunaan kata tersebut: “lafazh faraidh merupakan jamak (bentuk plural) dari lafazh faridhah yang mengandung arti mafrudhah, yang sama artinya dengan muqaddarah yaitu: suatu yang ditetapkan bagiannya secara jelas. Didalam ketentuan kewarisan Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an lebih banyak terdapat bagian yang ditentukan dibandingkan bagian yang tidak ditentukan. Oleh karena itu, hukum ini dinamai dengan faraid.
Sedangkan menurut Al-Syarbini, faraid adalah:

“Ilmu faraidh yang berkaitan dengan pewarisan, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyeleseikan pewarisan tersebut, dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan bagi setiap pemilik hak waris (ahli waris).
Dalam literatur hukum di Indonesia, digunakan pula beberapa nama yang keseluruhannya mengambil dari Bahasa Arab, yaitu: waris, warisan, pusaka dan hukum warisan. Yang menggunakan nama hukum waris, memandang kepada orang yang berhak menerima harta warisan, yaitu yang menjadi subjek dari hukum ini. Sedangkan yang menggunakan nama warisan memandang kepada harta warisan yang menjadi objek dari hukum itu.
Pada masa Nabi SAW tidak ditemukan perbedaan-perbedaan dalam penentuan hukum baik muamalah, jinayah maupun ibadah, karena semuanya dapat ditanyakan langsung kepada Nabi SAW. Namun seiring dengan perkembangan manusia dan aliran pemikirannya, maka lahirlah interpretasi terhadap Islam secara beragam, dan tak jarang saling bertentangan secara diametral. Jalan-jalan yang ditempuh oleh banyak tokoh dalam memahami Islam, terutama dalam masalah ritual (fiqih) dinisbatkan oleh para pengikutnya sebagai mazhab (jalan) yang dijadikan pedoman beribadah, padahal sang tokoh sendiri tidak pernah menamakan dirinya mazhab tertentu, melainkan mereka berpegang teguh dengan sumber asli ajaran Islam, yaitu: Al-qur’an dan Hadits. Hal ini dibuktikan dengan jika pendapat mereka berbeda antara sesamanya, mereka diminta agar meninggalkan pendapatnya.
Adanya mazhab-mazhab inilah yang membuat umat Islam menjadi terkotak-kotak menurut mazhab yang dianutnya, bahkan ada sebagian (penganut mazhab) karena sangat fanatik terhadap mazhab yang dianutnya sehingga tidak menerima pendapat mazhab-mazhab yang lain. Hal ini tentunya sudah terprediksi oleh Nabi SAW melalui sabdanya:
“Sesungguhnya Bani Israil akan terpecah menjadi 71 golongan dan sesungguhnya umatku (Islam) akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu, yaitu jamaah”.
Secara universal dalam Hukum Islam ada tiga sebab yang menjadikan seseorang berhak menerima harta warisan:

Selengkapnya...

0 komentar:

Posting Komentar

PERPUS. SKRIPSI TESIS is wearing Nur | To Blogger by An at Student | Campus and Comments (RSS).