30.7.09

TINDAK PIDANA KORUPSI DITINJAU DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera tersebut, perlu secara terus menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya.
Sebagai negara yang merdeka Indonesia meletakkan hukum sebagai dasar berpijak yang tertuang dalam pasal 1 ayat 2 amandemen III UUD 1945 tahun 2001 dan dalam sistem pemerintahan negara yang menyebutkan bahwa “ Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechtstaat) dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machstaat). Dengan demikian berarti bahwa Indonesia mengakui dan menganut paham kedaulatan hukum. Menurut ajaran kedaulatan hukum Krabbe, Kekuasaan tertinggi” tidak terletak pada kehendak pribadi raja melainkan pada hukum”. Jadi kekuasaan hukum terletak di atas segala kekuasaan yang ada dalam negara dan dalam segala kekuasaan harus tunduk pada hukum.

Adapun hukum nasional adalah hukum yang berlaku bagi bangsa tertentu di suatu negara nasional tertentu. Di Indonesia hukum nasional atau yang lebih dikenal dengan hukum positif adalah hukum yang dibangun oleh bangsa Indonesia setelah Indonesia merdeka dan berlaku bagi penduduk Indonesia, sebagai pengganti hukum kolonial. Sedangkan hukum Islam adalah hukum yang bersifat rahmatal lil’alamin, yang diperuntukkan untuk semua umat Islam.
Indonesia seperti negara berkembang lainya, selalu berusaha menjalankan pembangunan hukum nasional, yang dalam prakteknya sarat dengan nuansa dan pengaruh politik penguasa, sudah barang tentu arah kebijakan hukum nasional dan sekaligus arah kebijakan politik hukum nasional harus berdasarkan pada Garis - Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999 atau dengan kata lain berbicara mengenai arah kebijakan hukum nasional haruslah diawasi dan dilandasi dengan kehendak rakyat Indonesia dalam era reformasi. Dalam arah kebijakan GBHN ini disebutkan, antara lain :
“Menata hukum sistem nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat dan memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.”

Berdasarkan rumusan GBHN tersebut, tampak jelas aturan sistem hukum nasional terhadap hukum agama dan hukum adat.
Sedangkan hukum Islam, merupakan hukum yang sumbernya berupa ajaran dasar dan pokok-pokok dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi, yang tidak diragukan lagi kebenarannya, dikembangkan melalui ijtihad para ulama dan dijadikan acuan untuk tersusunnya aturan undang-undang, serta menjadi landasan hukum untuk membuat suatu keputusan terhadap kasus-kasus yang terjadi di pengadilan.

Ditengah upaya pembangunan nasional diberbagai bidang, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensipkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat, karena adanya penyimpangan / korupsi ini telah menimbulkan kerugian Negara yang sangat besar, sehingga berdampak pada timbulnya krisis diberbagai bidang kehidupan.
Korupsi atau penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi masih mewarnai kehidupan masyarakat di negara Replubik ini, tumbuh subur dan bahkan sudah berakar urat, terjadi disetiap sektor. Perbuatan ini nampaknya bukan lagi perbuatan tabu bahkan sudah menjadi budaya yang sangat merugikan dan meresahkan masyarakat serta merusak landasan moral tata kehidupan. Hukum yang dianggap sebagai ratu adil yang dapat menyeret pelaku korupsi ke dalam penjara nyatanya tidak sanggup menyentuhnya, bahkan hukum dibuat mereka seperti mainan karena penegak hukum dapat dibeli dengan uang dari hasil korupsinya.

Pada tanggal 20 Oktober 2004, Susilo Bambang Yudoyono dan Yusuf Kalla diambil sumpah oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai Presiden dan Wakil Presiden selama lima tahun ke depan (2004 – 2009) untuk memimpin Replubik tercinta ini, “Dihadapan mereka telah menunggu segudang persoalan yang serba rumit, mulai upaya pemberantasan korupsi, menegakkan good governance, menjalankan politik bebas aktif, hingga memacu pertumbuhan ekonomi, membuka lapangan kerja serta menarik investasi untuk membangun infrastruktur”.
Diantara semua persoalan yang ada salah satunya yang terberat adalah memberantas korupsi, karena praktek kotor tersebut seakan sudah berakar dan berurat di Indonesia. Pengalaman pemberantasan korupsi menunjukkan bahwa kegagalan demi kegagalan lebih sering terjadi terhadap koruptor kelas kakap dibandingkan dengan koruptor kelas teri. Kegagalan tersebut membuktikan bahwa masyarakat pada strata rendah selalu menjadi korban dari ketidakadilan para aparat penegak hukum, sehingga sejak lengsernya rezim orde baru hingga saat ini praktek korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) justru kian merajalela. Sehingga perbuatan yang demikian sudah barang tentu sangat tercela dan bertentangan dengan hukum positif dan hukum Islam. Tak heran kalau lembaga-lembaga internasional masih memberikan rapor merah pada upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Political and economic risk consultancy ltd (PERC) misalnya, masih menganggap Indonesia sebagai negara terkorup di Asia dengan skor 9,25.

Sementara Transparancy Internasional Indonesia (TII) menempatkan Indonesia dalam daftar lima besar negara terkorup diantara 146 negara yang disurvei Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia. Menurut fersi TII, hanya naik sedikit dari 1,9 poin pada 2003 menjadi 2 poin pada tahun 2004. Buntutnya tingkat daya saing (competitiveness) Indonesia juga terus terpuruk. Wordl Economic Forum (WEF) dalam laporannya yang dipublikasikan 14 oktober 2004 lalu menempatkan Indonesia pada rangking 69 dari 146 negara.
Kemudian pada tanggal 9 Desember 2004 bertepatan dengan peringatan hari anti korupsi internasional, Transparancy Internasional Indonesia (TII) merilis hasil surveinya menempatkan partai politik dan parlemen sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Lalu diikuti bea cukai, lembaga peradilan (kejaksaan, pengadilan serta kepolisian), sektor pajak, sektor swasta dan pelayanan perizinan, militer, pendidikan, pekerjaan umum, pelayanan kesehatan, masmedia, LSM dan badan keagamaan. Survei tersebut dilakukan dalam periode Juli sampai september 2004 di Jakarta, Medan, dan Surabaya. Respondennya 1.234 orang dengan cara tatap muka secara langsung ini adalah fakta yang sebenarnya terjadi.
Berdasarkan uraian di atas, membuktikan bahwa korupsi di Indonesia sudah menjalar hampir di semua sektor kehidupan. Lalu, langkah apa yang akan diambil oleh Bapak Susilo BambangYudhoyono sebagai Presiden dan Bapak Yusuf Kalla sebagai wakil Presiden untuk menghapus praktek korupsi dibumi nusantara ini ? Beranikah keduannya melawan tekanan politis yang bakal menghadang langkah mereka untuk memberantas korupsi yang telah merajalela disetiap sektor kehidupan bangsa ini ?.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyangkut tindak pidana korupsi diinterpretasikan dalam pasal 209, 210, 387, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan pasal 435 KUHP yang ditarik kedalam pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan pasal 12 Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Sedangkan menurut hukum Islam hal demikian tidak dijelaskan secara implisit, tindak pidana korupsi, hanya saja uraian-uraian dalam kitab fiqih dikenal dengan istilah “Risywah” yang berarti suap, dimana Al-Qur’an dan sunah Rasul menentang habis-habisan praktek kotor ini dengan mengharamkannya.

Selengkapnya...

2 komentar:

RATNA SHARIE ARRASYIED mengatakan...

ada data yang lengkap?

Unknown mengatakan...

nice posting

Posting Komentar

PERPUS. SKRIPSI TESIS is wearing Nur | To Blogger by An at Student | Campus and Comments (RSS).