2.8.09
ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG PEMBACAAN SYAHADATAIN BAGI SUAMI MURTAD KETIKA IKRAR TALAK DI PENGADILAN AGAMA ....
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia, dengan dasar cinta dan kasih sayang untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur oleh syari'at.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Ar-Rum ayat 21 yang berbunyi:
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaannya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terhadap tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Walaupun pada dasarnya dalam melakukan kesepakatan atau tujuan untuk selama-lamanya, namun kenyataan dalam kehidupan rumah tanggah tidak semua merasakan manis serta nikmatnya membina kehidupan rumah tanggah saja, tetapi juga akan merasakan dan menghadapi pahit getirnya kehidupan rumah tanggah yang mengakibatkan tidak tercapainya tujuan perkawinan bahkan bisa jadi perkawinan tersebut kandas di tengah jalan dan dilakukan dengan perceraian.
Oleh karena itu Islam tidak mengikat perkawinan tetapi tidak juga mempermudah perceraian, dalam arti Islam membenarkan dan mengizinkan perceraian, apabila perceraian itu memang dapat memperbaiki kehidupan, dan tidak ada jalan lain yang bisa diambil kecuali dengan jalan perceraian. Namun hal tersebut sesungguhnya merupakan satu hal yang amat dibenci oleh Allah.
Hal ini sesuai dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh imam Abu Daud Ibnu Majah:
"Dari Ibnu Umar ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : perbuatan halal yang sangat dibenci oleh Allah adalah talak", (HR. Abu Daud dan Ibnu Hajah dan disatukan oleh hakim dan dikuatkan risalahnya oleh Abu Haim)
Dari hadits tersebut menunjukkan bahwa talak atau perceraian merupakan alternatif terakhir sebagai pintu darurat yang boleh di tempuh manakalah bahtera kehidupan rumah tanggah tidak bisa lagi dipertahankan keutuhan dan kesinambungannya, hal ini menunjukkan bahwa sebelum terjadinya talak atau perceraian seharusnya di tempuh usaha-usaha perdamaian antara kedua belah pihak melelui hakim atau melalui langkah-langkah yang lain.
Sesungguhnya perceraian dalam Islam yang diperbolehkan adalah harus dengan alasan yang tepat, yaitu sesuai dengan pasal 39 ayat 2 Undang-undang No 1 tahun 1974 Jo Pasal 19 Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1975 yang berbunyi: “untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri”.
Begitu pula bila salah seorang dari pasangan itu murtad (keluar dari agama islam) maka secara hukum perkawinan itu dapat dipisahkan dengan perceraian, tetapi berdasarkan pendapat ulama lain perkawinan itu secara otomatis batal kalau tampa perceraian.
Dalam pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 menyebutkan bahwa seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan istrinya mengajukan surat permohonan kepada Pengadilan Agama di tempat tinggalnya yang berisi bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
Jika Pengadilan Agama dapat menerima pengaduannya, berdasarkan bukti-bukti yang nyata dan meyakinkan, maka pengadilan agama menjatuhkan tentang izin bagi suami untuk meikrarkan talak setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati kedua belah pihak-pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tanggah. Pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.
Dalam pasal 117 Kompilasi Hukum Islam di sebutkan, talak adalah ikrar seorang suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131.
Selengkapnya...
0 komentar:
Posting Komentar