3.8.09
PEMBUBARAN PARTAI MASYUMI (TINJAUAN HISTORIS)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap zaman akan melahirkan masalah dan aliran tersendiri. Setiap zaman akan melahirkan semangatnya sendiri, dan akan melahirkan pahlawan-pahlawan tersendiri, yakni mereka yang akan menjadi kekuatan pelopor dalam memecahkan masalah zamannya.
Kedudukan ummat Islam pada bagian permulaan kemerdekaan tidak menguntungkan dibandingkan dengan kedudukan mereka yang netral agama. Tampilnya Masyumi sebagai partai Islam yang bercorak kesatuan dalam bulan-bulan pertama kemerdekaan Indonesia bukanlah suatu kebetulan dalam sejarah (An Historical Accident) yang tidak dilatarbelakangi kesadaran yang dalam dan panjang. Kelahiran Masyumi dapat dikatakan sebagai suatu keharusan sejarah (An Historical Necessity) bagi perjalanan politik umat Islam Indonesia. Masyumi kemudian tampil sebagai pembela demokrasi yang tangguh dalam negara Republik Indonesia. Partai baru ini dalam tempo singkat telah muncul sebagai partai yang sangat mengakar dalam masyarakat Indonesia. Ulama dan para pemimpin politik Islam dari seluruh Tanah Air segera bergabung dengan partai ini. Kekuatan dan sekaligus kelemahan Masyumi menurut suatu analisis justru terletak pada sifatnya yang federatif, menurut A.R. Baswedan (1909-1986) salah seorang pemimpin penting Masyumi. Masyumi bersama golongan lain memusatkan pada perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang masih dirongrong keinginan Belanda untuk meneruskan penjajahan kembali. Dalam periode yang sangat kritis itu tetap mempertahankan kemurnian dan cita-cita kemerdekaan.
Secara umum dapat dikatakan, perilaku politik Masyumi selama periode kritis itu hampir-hampir tanpa cacat. Pemihakannya kepada martabat Republik Indonesia begitu jelas, konsisten, dan penuh perhitungan. Dalam perspektif inilah, orang dapat menilai mengapa partai Masyumi dan PNI mengadakan demonstrasi bersama di Yogyakarta di jalan di depan Istana dengan menyuarakan anti Amir Syarifuddin, salah seorang tokoh puncak golongan kiri yang pada September 1948 juga mengarsiteki pemberontakan Madiun.
Goncangan besar dalam tubuh Masyumi terjadi pada Mei 1952. Saat itu NU mengikuti jejak SI meninggalkan Masyumi di Konggres Palembang. Sejak itu NU menyatakan diri sebagai sebuah partai politik dan meninggalkan watak Jam’iyahnya. Dalam menghindari banyak kasus partai Islam baru ini lebih dekat kepada PNI atau bahkan PKI ketimbang Masyumi. Sikap Masyumi yang menentang ide Demokrasi Terpimpin semakin menempatkan kaum modernis itu pada posisi politik yang terpencil. Ditambah lagi dengan keluarnya Muhammadiyah dari tubuh Masyumi, yang separuh dari seluruh anggotanya di Indonesia adalah orang Muhammadiyah, dan menjadikan Masyumi semakin lemah.6
Masa permulaan demokrasi terpimpin tahun 1957 mencatat Masyumi bukan saja tambah renggang dan asing bagi Soekarno melainkan juga tambah bertentangan secara konfrontatif dengan Presiden. Dengan Natsir sebagai Ketua Umum Partai, garis kebijaksanaan politik Masyumi terhadap Soekarno tambah keras, ia tidak dapat berkompromi dengan Soekarno dalam soal demokrasi.7 Dalam mekanisme pelaksanaan demokrasi terpimpin anggota-anggota yang duduk dalam Dewan DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) adalah mereka yang disukai Soekarno, dan bertugas mengiyakan Move politiknya. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa orang-orang Masyumi dan PSI yang menentang politik Soekarno harus tersingkir.8 Di mata Masyumi sistem demokrasi terpimpin akan membawa bencana bagi bangsa dan negara. Semangat inilah sebagai idealisme martir Masyumi, yang mempunyai resiko politik yang besar bagi golongan modernis Muslim di Indonesia. Masyumi sebagai cagar demokrasi tampaknya tidak punya pilihan lain kecuali menghadapi Soekarno dan sistemnya. Harapan Masyumi bahwa rakyat akan berpihak kepada demokrasi, tidak kepada sistem otoriter, ternyata sia-sia. Sementara itu, PKI yang sangat lihai dalam manipulasi politik, berpihak sepenuhnya kepada sistem Soekarno. Pada masa Demokrasi Terpimpin, jargon politik PKI tentang golongan “kepala batu” sudah menyatu dengan jargon politik Soekarno yang juga menilai Masyumi sebagai kekuatan “kepala batu” yang merintangi penyelesaian revolusi Indonesia. Karena itu, Masyumi tidak patut lagi hidup pada era demokrasi terpimpin. Dengan demikian, di antara prinsip demokrasi terpimpin sebagaimana dikemukakan oleh Soekarno “tanpa otokrasi diktator” tidak berlaku bagi Masyumi. Masyumi harus dikorbankan “demi revolusi”.9 Semua ini adalah kepandaian manuver PKI dengan bantuan penuh dari Presiden Soekarno.10
Akhirnya pukulan terakhir dialami partai Masyumi yang gigih mempertahankan prinsipnya ini. Pukul 05.20 pagi tanggal 17 Agustus 1960 hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Pimpinan Pusat Masyumi menerima surat dari Direktur Kabinet Presiden yang mengemukakan bahwa Masyumi harus dibubarkan. Dalam waktu 30 hari setelah keputusan ini, yaitu 17 Agustus 1960. Pimpinan partai Masyumi harus menyatakan partainya bubar, pembubaran ini harus diberitahukan kepada Presiden secepatnya. Kalau tidak, partai Masyumi akan diumumkan sebagai partai terlarang. Kurang dari sebulan demikian yaitu tanggal 13 September, pimpinan pusat Masyumi menyatakan partainya bubar. Ini tidak berarti bahwa Masyumi menyetujui instruksi Presiden.11
Selengkapnya...
2 komentar:
sejarah.sulit untuk terulang
itulah sejarah
Markai (Marksis dan Kekiri-kirian) berhasil menghasut bung Karno.
Posting Komentar