2.8.09
PENGGUNAAN HASIL TES DNA SEBAGAI ALAT BUKTI PERKARA PIDANA
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam upaya penegakan hukum, pembuktian merupakan aspek yang sangat penting. Sebab, kepada akurasi atau kecermatan upaya pembuktian itulah keadilan yang ingin diwujudkan melalui penegakan hukum sangat bergantung. Pembuktian yang akurat adalah jalan menuju tegaknya keadilan. Sebaliknya, dari pembuktian yang tidak akurat akan lahir ketidakadilan.
Di dalam al-Qur’an surat al-Nisa> Allah SWT menyuruh dengan tegas untuk mewujudkan keadilan dalam setiap upaya penegakan hukum (law enforcement):
Artinya: “Sesunguhnya Allah menyuruh kamu sekalian untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu sekalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Q>S. Al-Nisa>: 58).
Jika untuk melaksanakan perintah mewujudkan keadilan tersebut diperlukan pembuktian yang akurat, maka para hakim harus melakukan pembuktian yang akurat itu menghimpun sebanyak mungkin alat bukti agar vonis bersalah atau tidak bersalah yang dijatuhkannya kepada pihak yang sedang diadili benar-benar memenuhi kualifikasi adil. Dalam konteks ini para ulama sepakat bahwa hakim tidak boleh menetapkan hukum terkecuali ia dapat membuktikannya dengan bukti-bukti yang menetapkan hak.
Di dalam hukum acara peradilan Islam, alat-alat bukti yang bisa digunakan oleh hakim dalam melakukan pembuktian adalah: 1) saksi; 2) pengakuan; 3) qari>nah; 4) pendapat ahli; 5) sumpah; 6) pengetahuan hakim; 7) tulisan/surat; 8) al-qasa>mah; dan 9) li’a>n.
Sedangkan dalam hukum acara pidana positif, sebagaimana ditegaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 18 ayat 1, alat-alat bukti yang sah itu adalah: 1) keterangan saksi; 2) keterangan ahli; 3) surat; 4) petunjuk; 5) keterangan terdakwa.
Di tengah pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, penemuan-penemuan baru di bidang teknologi ternyata banyak yang kondusif untuk upaya-upaya pembuktian perkara yang dilakukan oleh hakim, di antaranya teknologi perekam suara, perekam gambar, pelacak sidik jari, dan tes DNA.
DNA adalah singkatan dari Deoxyribo Nucleic Acid (Asam Nukleat), yaitu suatu persenyawaan kimia yang membawa keterangan genetik dan sel khusus dari makhluk secara keseluruhannya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di dalam DNA terkandung informasi keturunan suatu makhluk hidup yang akan mengatur program keturunan selanjutnya. Jadi, DNA bertugas untuk menyimpan dan mentransfer informasi genetik kemudian menerjemahkan informasi ini secara tepat.
Dengan karakteristiknya yang sedemikian itu, DNA pada dasarnya amat potensial untuk dimanfaatkan dalam melacak asal-usul keturunan seseorang. Terkait dengan itu, sekiranya terjadi tindak pidana yang bertemali dengan asul-usul keturunan seseorang, seperti pemerkosaan, pemalsuan wali, pemalsuan ahli waris dan sebagainya, lain halnya kaitannya dengan pembunuhan di mana DNA hanya sebagai identifikasi baik pada mayat atau bendanya, maka informasi genetik dalam DNA itu bisa sangat bermanfaat untuk upaya-upaya pembuktian di pengadilan. Tetapi masalahnya, pembuktian tindak pidana di pengadilan itu berada dalam wilayah yuridis formal, sehingga sah tidaknya sesuatu untuk digunakan sebagai alat bukti amat bergantung kepada ketentuan-ketentuan formal yang mengaturnya.
Jika dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan formal mengenai alat-alat bukti yang sah, baik dalam hukum Islam maupun hukum positif (KUHAP), seperti telah dikemukakan di atas, maka jelas sekali bahwa hasil tes DNA tidak termaktub sebagai salah satu poin di dalamnya. Akan tetapi di dalam hukum Islam ada poin alat bukti yang disebut “qari>nah” dan “keterangan ahli”, dan dalam hukum pidana positif ada juga salah satu bentuk alat bukti yang disebut “keterangan ahli”.
Di dalam al-Qur’an surat Yu>suf ayat 26-29 dimuat suatu kisah yang berkenaan dengan penggunaan qari>nah sebagai alat bukti, yaitu kisah tentang Yu>suf bin Ya’qu>b yang kesohor ketampanannya. Yu>suf dipaksa berbuat zina oleh Zulaikha, istri dari Qiftir atau Potifar. Tapi Yu>suf tidak mau, lalu berusaha lari. Zulaikha menarik baju Yu>suf hingga robek. Tetapi Yu>suf difitnah bahwa ia telah berusaha memperkosanya sehingga ia dipenjarakan. Dalam pengadilan diajukan bukti berupa qari>nah, yaitu baju yang sobek itu tadi. Kalau benar Yu>suf yang berusaha memperkosa, maka bagian yang sobek tentunya di depan. Tetapi ternyata, bagian yang sobek itu di belakang, sehingga kuat dugaan bahwa ia tidak melakukan perkosaan.
Dalam kasus pembunuhan penggunaan alat bukti qorinah sudah digunakan di zaman Rasulullah SAW. Seperti kisah dua anak Afra yang bersengketa sehingga Nabi menetapkan pembunuhnya atas dasar pedang yang masih ada darahnya yang menempel, darah tersebut sebagai qorinah yang menentukan pembunuhnya.
Selengkapnya...
0 komentar:
Posting Komentar